• Jelajahi

    Copyright © Pena Kita
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Halaman

    Merenungi Kembali Tingginya Kasus Bunuh Diri Di Indonesia

    Jumat, 10 November 2023, November 10, 2023 WIB Last Updated 2023-11-10T01:16:36Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


     Jakarta, Penakita.Online- Warga kota Kupang, Nusa Tenggara Timur dibuat terkejut. Sesosok perempuan berbaju merah tergeletak tak bernyawa di semak-semak. Sepintas melihat video dan foto yang beredar di WhatsApp, bagi mereka yang familier dengan kota Kupang, langsung bisa menebak lokasinya. Pasti di Liliba.

    Sudah sejak lama, jembatan Liliba di Oebobo itu tenar di ingatan warga Kupang kalau bicara soal kematian. Berulangkali ditemukan mayat di bawah jembatan tersebut. Rata-rata mereka bunuh diri dengan cara terjun dari atas jembatan Liliba.

    Jembatan ini adalah yang paling tinggi dibanding jembatan-jembatan lainnya di Kupang. Entah apa pula alasannya, ada cukup keyakinan bahwa jembatan Liliba adalah tempat bunuh diri paling ideal --jembatan pencabut nyawa paling sadis. Sekali terjun, semua remuk, nyawa melayang.

    Mereka yang memilih mengakhiri hidup di Liliba pergi dengan macam-macam alasan. Si perempuan berbaju merah yang terakhir terjun ke dasar kali Liliba, lantaran tak kuasa menahan malu. Diberitakan, ia memilih mati di Liliba lantaran namanya tak masuk daftar wisudawati Poltekes Kupang, yang dijadwalkan berlangsung 10 Oktober 2023. Padahal, keluarga dari kampung halaman sudah tiba di Kupang untuk berpesta merayakan kelulusannya.

    Lantaran gagal menggondol sarjana, pun tak menemukan penjelasan yang pas kepada keluarga yang sudah jauh-jauh datang, ia memilih bunuh diri. Dan, sebagai mahasiswi yang tinggal di Kupang, Liliba sekali lagi menjadi opsi paling realistis. Di jembatan Liliba yang punya kedalaman 500 meter itulah, ia menyudahi rasa malunya. Ia menutup telinga dari gunjingan tetangga.

    Tak Kuat Menanggung Beban

    Tatkala kabar itu tiba di gawai, saya berkomentar sinis. Masak hanya gara-gara wisuda seseorang rela mengakhiri hidup? Komentar serupa kemudian berseliweran di media sosial. Banyak yang menyayangkan keputusan perempuan itu. Kan hidup tidak langsung berakhir karena tunda atau bahkan gagal wisuda, kata netizen yang lain.

    Saya kemudian bertanya lebih jauh. Apakah memang generasi kita sekarang serentan itu? Di hadapan masalah, sebagian dari kita tak kuat menanggung beban. Saya bisa bertanya demikian karena perihal mengakhiri hidup dengan metode bunuh diri terbilang cukup tinggi di Indonesia.

    Menukil Goodstats.id (20/10), Polri melaporkan bahwa selama periode Januari - Juli 2023 terdapat 663 kasus bunuh diri di Indonesia. Angka tersebut meningkat sebesar 36,4% dibandingkan periode yang sama pada 2021, yaitu sebanyak 486 kasus.

    Angka ini harusnya meninggalkan catatan penting bahwa ternyata ada sebagian dari masyarakat kita yang menjadikan bunuh diri sebagai opsi instan kala tak kuat lagi memanggul masalah. Dan, kita tidak pernah tahu, apakah teman atau saudara kita yang sedang menghadapi masalah dalam hidupnya, pun memikirkan bunuh diri sebagai solusi akhir.

    Bila melihat fenomena bunuh diri, juga membaca respons di media sosial terhadap peristiwa bunuh diri, saya jadi ngeri membayangkannya. Ternyata cukup banyak yang memberi tanggapan bahwa ia pernah juga berpikir untuk bunuh diri. Itu karena masalah yang ia hadapi tampak seperti tak berujung.

    Membangun Benteng Diri

    Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan ini selalu saja ada masalah. Ada masalah yang mungkin bisa kita atasi sendiri. Tapi, ada juga yang rasanya melampaui kemampuan kita. Di level inilah masing-masing kita butuh dukungan. Lingkungan, teman sepergaulan, kerabat dekat, bisa jadi pendukung yang baik untuk kita bisa melewati masa-masa sulit itu. Namun, balik lagi, semua ada pada diri sendiri.

    Karena itu, tak berlebihan kalau saya mengajak kita untuk mencoba membangun benteng untuk diri sendiri. Untuk kali ini, saya ingin menawarkan stoikisme sebagai batu bata untuk membangun benteng pertahanan diri. Tradisi filsafat stoikisme mengajarkan agar setiap kita fokus pada kemampuan diri sendiri. Tidak perlu hirau terhadap faktor di luar diri. Karena faktor-faktor tersebut berada di luar kendali kita.

    Zeno, pendiri filsafat stoikisme, sebagaimana diuraikan dalam buku Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Rusell, mengatakan bahwa keutamaan sebagai manusia terletak dalam diri. Dan, keutamaan adalah kehendak itu sendiri. Maka, sesuatu yang baik dan buruk bergantung sepenuhnya pada diri sendiri.

    Tak perlu mengutuk situasi di luar sana kala segala sesuatu tak berjalan sesuai harapan. Kembalilah pada diri sendiri. Selidiki apa yang masih kurang maksimal dikembangkan dalam diri, dan mulailah memperbaikinya. Dan, untuk setiap pencapaian, sekecil apa pun itu, apresiasilah. Berilah pujian pada diri sendiri karena telah meraihnya.

    Jules Evans dalam bukunya Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya mengutip Doa Penenang Hati dari Epiktetus, salah satu filsuf stoik. Kutipan doa itu berbunyi, "Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima apa yang tidak dapat kuubah, keberanian untuk mengubah apa yang dapat kuubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya."

    Penggalan doa ini mengajarkan agar kita punya kesadaran penuh bahwa ada hal-hal yang dapat kita kendalikan, dan dengan demikian dapat kita ubah, dan ada hal-hal yang jauh dari kemampuan kendali kita. Stoikisme menasihati, fokuslah pada hal-hal yang ada di dalam kendalimu.

    Dalam kehidupan ini, sering kita berada dalam situasi yang tak menyenangkan. Karena itu, berbuatlah sebisa kita untuk mengubah hal-hal yang bisa kita ubah. Kalau dampaknya negatif, hentikan. Tapi, kalau positif, lanjutkan dan apresiasi dirimu karena sudah berkontribusi mengembangkan hal-hal baik.

    Hemat saya, stoikisme adalah benteng tangguh bagi generasi kita hari ini. Ia adalah perisai untuk melindungi diri dari peristiwa atau isu di luar sana, yang cenderung liar dan tak terkendali. Filsafat stoik adalah jalan keluar bagi mereka yang kehilangan arah dan harapan atas kehidupan ini.

    Si perempuan yang bunuh diri di Kupang yang saya singgung awal tulisan ini bisa jadi lupa mengapresiasi dirinya, yang selangkah lagi tiba pada masa akhir kuliah, meski tertunda sejenak. Ia kehilangan kegembiraan untuk melihat kehadiran keluarganya sebagai sebuah apresiasi dan kasih sayang. Ia malah fokus pada gunjingan tetangga dan respons orang-orang sekitar akibat tunda wisuda. Padahal, sudah pasti hal-hal tersebut berada di luar kendalinya.

    Karena itu, mari kita beri apresiasi kepada diri sendiri untuk pencapaian-pencapaian yang sudah kita raih hingga hari ini. Fokus dan ulet mengembangkan diri secara maksimal. Dan, buah-buah baik akan berlimpah pada waktunya.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini